Chapter 4
Chapter 4
BAB 4 I Salah Sangka
Mata Via terbuka saat mendengar jam alaram berbunyi, dia meraba ke sisi sebelah dan merasa kecewa mendapati ranjang yang dingin pertanda Sean sudah pergi sejak tadi. Setelah membisukan alaram, Via pun duduk dengan posisi kepala menyandar sedang mata menatap nanar pada sisi ranjang sebelah kanan yang kosong.
Jemari Via meraba kasur dimana biasanya Sean berbaring. Dia ingin pria itu berada di samping dan memeluk tubuhnya begitu terjaga. Jarang sekali mereka bangun bersama, biasanya Sean yang lebih dulu beranjak, meninggalkan Via sendiri.
“Kapan kau benar-benar melihatku, tidak hanya sebagai wanita simpanan?” bisik Via dengan napas tercekat menahan tangis.
Dia ingin sekali saja Sean mengakui keberadaannya. Mungkin tidak di kota ini, bisa di tempat lain dimana tidak seorang pun mengenal. Mereka bisa saja bersenang-senang di luar, layaknya pasangan biasa. Makan malam romantis di restoran bintang lima, berlarian di pantai, bermain ayunan di taman, menikmati liburan ke safari, berciuman di atas biang lala di taman bermain, atau paling sederhana ke bioskop dan belanja di supermarket saja.
Tetapi angan-angan hanyalah hayalan, Via tahu tidak mungkin terjadi. Sean bahkan tidak mau membawa hubungan ini lebih dari apa yang sudah disepakati, membuat Via murung kembali.
Dengan berat dia membawa tubuh menuju kamar mandi, memulai Sabtu pagi dengan memanjakan diri.
……………………………………………………….
Dering ponsel mengganggu konsentrasi Via yang sedang membaca sebuah novel picisan. Awalnya sebuah senyum menghiasi wajahnya, namun kemudian tertekuk ke bawah ketika melihat bukan nama Sean yang tertera di layar sebagai Caller ID.
“Halo Bibi,” jawab Via terdengar kecewa.
“Kenapa, kau tidak suka aku menghubungi?” tanya sang Bibi dari seberang.
Via berdehem, mengontrol suara. “Maaf, aku pikir temanku,” jawabnya setengah berbohong.
“Kau selalu saja menghindar setiap aku menghubungi, bahkan tidak sekali pun menanyakan kabar. Apa kau lupa memiliki keluarga yang masih hidup?” Bibi Azura selalu mengatakan hal-hal buruk setiap kali menghubungi Via, karena itu pula Via enggan menerima.
“Bukan begitu Bi, aku hanya sedang sibuk. Perusahaanku sedang mengerjakan banyak Event sekarang,” jelas Via tidak berbohong kali ini, walau dia memang tidak mau menghubungi lebih dulu.
“Lalu, aku tidak sibuk maksudnya? Bahkan tokoku juga sedang sibuk menghadapi musim panas tahun ini, sampai aku butuh tambahan tenaga!”
Via mengernyit mendengar suara Bibi Azura meninggi.
“Tidak seharusnya keluarga saling melupakan, anak muda. Tugasmu yang lebih dulu mengabari bukan sebaliknya. Atau kau tidak ingin menemuiku lagi, begitu? Apa karena kau bekerja di kota sekarang kau menjadi sombong?”
Via hendak mengakhiri sambungan begitu saja, tetapi itu hanya akan menyulut amarah sang Bibi. Kepalanya bahkan mulai berdenyut mendengar tuduhan demi tuduhan yang tidak jelas.
“Bibi, aku tidak …”
Belum selesai Via bicara, Bibi Azura pun menyela.
“Dengarkan aku dulu, kau memang tidak sopan dengan orang tua! Dimana rasa hormatmu? Susah payah kubesarkan tetapi tidak sekali pun kau peduli.”
Air mata menggenang di pelupuk mata, hendak jatuh mendengar Bibinya mengatakan hal-hal begitu. Via sadar diri Bibi Azura membesarkan dia di saat Ibunya tidak mampu karena sakit. Sebenarnya Via juga ingin membalas budi, tetapi sifat Bibi Azura yang suka mengucapkan kata-kata menyayat hati, membuat Via urung.
“Bibi, aku minta maaf. Lain kali aku akan menghubungi tanpa kau hubungi lebih dulu. Aku janji,” gumam Via terdengar bersalah.
Merasa puas maksudnya tersampaikan, Bibi Azura pun menggerutu dan merendahkan suara.
“Bagus, jadilah anak baik. Aku ini sudah tua, jika bukan kau yang memperhatikanku siapa lagi. Bahkan kau tidak perlu bekerja di kota. Aku sanggup mempekerjakanmu di toko. Hidup di kota itu susah.”
Via menulikan telinga. Sudah berapa kali Bibi Azura meminta dia untuk bekerja di toko keluarga, kemudian merendahkan pekerjaan Via di kota. Bahkan tanpa menyaring kata-kata, Bibi Azura menuduh Via melakukan hal tidak-tidak karena berhasil masuk ke sebuah perusahaan ternama. Sungguh sakit hatinya, tetapi dia hanya bisa melipat lidah, takut menyakiti Bibi Azura yang sudah tua.
“Baik Bibi, tetapi aku senang bekerja di sini,” kata Via berusaha sopan. Di seberang terdengar lagi gerutuan yang Via abaikan. “Apa bibi sudah makan?”
Pembicaraan setelahnya lebih seperti formalitas. Bagi Via, hidup bersama Bibi Azura sangatlah menyiksa, walau Bibinya bertekad kuat membiayai semua kebutuhan Via sedari remaja, hingga tanpa sadar membuat sang Bibi enggan menikah, yang menjadi beban tersendiri bagi Via. Beberapa kali Via
menyalahkan diri, mungkin karena Via-lah Bibi Azura tidak pernah menikah, tetapi untung saja Bibi tidak pernah menyakiti Via dengan menyinggung perkataan mengarah ke sana sekali saja.
Setelah komunikasi berakhir, Via baru menyadari matahari sudah meninggi. Dia pun bergegas bersiap menuju supermarket untuk membeli kebutuhan dapur. Mata Via memandang layar ponsel yang mati, berharap Sean menghubungi, tetapi pria itu seakan lupa keberadaan Via, membuat dia tertunduk lesu saat melintasi pintu.
………………………………
Via memilih beberapa produk daging dan sayur. Dia mengirimkan pesan pada Sean mau dimasakan apa, tetapi tidak satu pun pesan yang dia kirim mendapat balasan, dilihat saja tidak. Semakin menambah kecewa. Setelah selesai memilih daging, Via beralih ke rak buah, tetapi matanya tertuju pada sosok Sean yang berdiri di dekat rak minuman dingin.
Senyum Via mengembang, senang dapat berpapasan di sana, dia hendak merapat, namun langkahnya terhenti begitu melihat sosok wanita mendekati Sean yang terlihat sibuk memilih sesuatu.
Tidak pernah sebelumnya Via melihat wanita itu, membuat hati Via berdenyut nyeri. Bahkan wanita itu menyentuh bahu Sean dengan gesture familiar seakan mereka begitu dekat. Kini jantung Via ingin melompat, berdebar dengan irama menyakitkan. Apa lagi ketika Sean membalas senyum wanita itu dengan sensual, semakin menghunjam dada Via dengan ribuan belati.
Baru saja Via melangkah mundur untuk menyudahi sakit hati, saat tiba-tiba manajer operasional Luna Star, Daren Osbert, memeluk wanita itu dari belakang. Keduanya tampak tertawa dan mengabaikan Sean yang menggelengkan kepala, dan tanpa sengaja menoleh ke arah Via yang masih mematung tak jauh dari sana. Kilasan mata Sean tampak terkejut begitu mata mereka terkunci, tiba-tiba hati Via kembali berbunga begitu Sean melemparkan senyum tipis ke arahnya, membuat Via lega karena tadi hanyalah prasangka.
Langkah Sean hendak mengarah ke Via, namun terhenti saat menyadari mereka tidak lagi sendiri.
Via pun mengerti dan membalas Sean dengan senyum tipis yang sama sebelum berlalu ke arah sebaliknya, menjauhi mereka. Walau dipenuhi kecewa, Via tahu diri. Sean-lah yang pegang kendali hubungan keduanya. Bila pria itu bilang berakhir, maka chapter cinta mereka ditamatkan dengan paksa. Meski berat hati, Via memutuskan pulang untuk menenangkan diri.
Dalam perjalanan ponsel Via berbunyi, menandakan sebuah notifikasi baru saja masuk.
Masih dengan perasaan malas, Via membuka ponsel itu acuh lalu membaca pesan sekilas, namun hatinya berdebar melihat nama pengirim yang tertera.
Sean: Apa pun yang kau masak pasti akan kuhabiskan. Kuserahkan menu makan malam hari ini padamu, Cheff.
Katanya, membuat Via terkekeh mendapat panggilan Cheff solah menggoda.
Sean: Ngomong-ngomong, kau sangat cantik memakai dress kuning lemon. Apa itu baru? Sebelumnya aku tidak pernah melihatmu memakai dress itu.
Wajah Via bersemu merah, menyadari Sean memang selalu memerhatikan apa yang dia pakai dan hapal motif hampir seluruh baju di lemari.
Sean: Daren sedang merayakan ulang tahun dengan pacarnya, mereka mengajaku makan bersama, untung saja kau menanyakan menu hari ini, tadi nyaris saja aku terima.
Hati Via lega, karena tadi hanya salah sangka, dan senyum Via semakin lebar karena Sean lebih memilih bersama dia.
Sean: Jaga kesehatan, jangan terlalu lelah. Nanti kau sakit lagi.
Pesan-pesan tersebut dikirim berurutan dalam waktu berdekatan, membuat senyum Via mengembang tidak karuan. Bahkan suasana sekitar berubah merah muda mendapat pujian yang jarang diberikan. Entah mengapa, akhir-akhir ini Sean suka melontarkan pujian yang melambungkan Via ke udara. Setelah sampai di apartemen, Via pun membalas pesan-pesan itu satu per satu.
Next Chapter